Profesionalisme Guru, Harapan dan Kenyataan
Oleh P. RUSPENDI
PROGRAM 100 hari Mendiknas, Bambang Sudibyo, salah satunya mencanangkan guru sebagai profesi seperti halnya wartawan, dokter, dan profesi lainnya. ("PR", 20 November 2004). "Sebagai suatu profesi, nantinya akan ada kode etik yang harus dipenuhi para guru. Jika melanggar, akan ada konsekuensi. Guru juga terdorong menjalankan tugasnya dengan baik, dan kode etik juga akan melindungi profesi guru," kata pengamat pendidikan UPI Bandung, Prof. Said Hamid Hasan.
Memosisikan guru sebagai profesi, suatu hal yang mendesak diberlakukan di Indonesia. Pasalnya, menempatkan guru seperti itu akan memperbaiki nasib para guru yang selama ini sering termaginalkan. Guru juga akan menjadi lebih bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
Masalahnya, bagaimana guru mengantisipasi tuntutan seperti itu, sehingga dapat mengembangkan profesinalismenya. Menurut "Journal Education Leadership" (Maret 1994), ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional: Pertama, memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Kedua, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkan. Ketiga, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi. Keempat, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas dan kelima, seyogianya menjadi bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya.
Sedangkan "Malcon Allerd" mengatakan, selain kelima aspek itu, sifat dan kepribadian guru amat penting artinya bagi proses pembelajaran adalah adaptabilitas, entusiasme, kepercayaan diri, ketelitian, empati, dan kerjasama yang baik.
Guru juga dituntut untuk mereformasi pendidikan, bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin sumber-sumber belajar di luar sekolah, perombakan struktural hubungan antara guru dan murid, seperti layaknya hubungan pertemanan, penggunaan teknologi modern dan penguasaan iptek, kerja sama dengan teman sejawat antar-sekolah, serta kerja sama dengan komunitas lingkungannya (Kompas, 12 September 2001).
Gambaran itu menunjukkan, betapa tingginya tuntutan profesionalisme seorang guru. Bisa dipastikan, dengan tingkat penghasilan seperti saat ini, rasanya sulit mengikuti tuntutan itu. Kalau kita percaya pada 'Abraham Moslow' kebutuhan utama seseorang manusia survival biologis, maka seorang guru juga akan mengutamakan keberlangsungan hidup ketimbang memikirkan profesionalismenya. Ini menyebabkan kontradiksi antara idealita dengan realita seorang guru.
Bagaimana bisa profesional kalau kondisi mereka seperti saat ini. Ironi kalau kita telanjur mengatakan guru jabatan profesional, tapi perlakuan kepadanya jauh dari itu. Kalau kita telanjur mengatakan guru jabatan profesional, mereka harus diperlakukan secara profesional pula.
Kurang profesional
Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru kurang profesional dalam memangku jabatannya. Pertama, faktor internal biologis. Guru manusia yang juga butuh kesehatan dan nutrisi seimbang melalui pola makan yang sehat agar bisa produktif. Sesuai anjuran para ahli, pola makan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Bisa disimpulkan, bagaimana mungkin para guru bisa sehat (produktif dan profesional), kalau hanya sekali makan telur atau lauk.
Kedua, faktor internal psikologis. Di samping punya tanggung jawab terhadap anak didik dan lembaga pendidikan, guru juga punya tanggung jawab terhadap keluarga (anak, suami/istri). Dengan penghasilan minim, ia akan mengalami ketidakpastian kesejahteraan hidup diri dan keluarganya. Sehingga satu per satu akan muncul kebutuhan atau dorongan lain.
Keadaan munculnya dua kebutuhan atau lebih saat bersamaan, akan menimbulkan konflik. Kurt Lewin (1890-1947) membedakan tiga macam konflik. Konflik yang dialami para guru adalah konflik approach, yakni jika dua kebutuhan atau lebih muncul secara bersamaan dan keduanya mempunyai nilai positif bagi individu.
Jika muncul kebutuhan atau dorongan untuk bertindak tapi tidak dapat terpenuhi atau terhambat, akan menyebabkan frustrasi atau depresi. Gangguan frustrasi atau depresi secara fisik memang tidak tampak, namun siksaan bagi para pengidapnya sangat berat. Setiap detik penderita akan disesaki oleh kekhawatiran, ketakutan dan kengerian.
Hal yang tak kalah berat dialami penderita depresi, tidak hanya pikiran tapi juga fisik. Sakit kepala, sakit perut dan tubuh makin kurus, kegembiraan hidup musnah dan hidup terasa hambar (Kompas, 15 Februari 2003). Jadi bagaimana mungkin seorang guru harus berkarya, kalau setiap hari frustrasi atau depresi?
Ketiga, faktor eksternal psikologi. Gaji yang minim, penunjang profesionalitas juga minim. Kalau gaji minim tapi tanggung jawab berat, guru akan merasa tidak dihargai. Ada suatu kisah seorang guru di Jakarta yang harus mengajar anak-anak orang kaya. Murid-murid yang diajarnya sudah bisa komputer, internet, bahasa Inggris, dan berwawasan luas, disebabkanorang tuanya langganan koran. Akibatnya, sang guru merasa minder.
Tak kalah penting, yang perlu diperhatikan adalah proses rekruitmen guru. Proses rekruitmen guru tak sekadar mengisi kekurangan, tapi juga bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebab meski maraknya teknologi informasi mampu mengadakan sumber ajar yang besar, guru tetap memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan.
Sebagaimana pernah disampaikan Ketua Umum PGRI, Muhammad Surya, pengembangan profesionalisme guru seharusnya sudah dimulai sejak masa perekrutan. Selain itu perlu didukung fasilitas yang memadai. Perbaikan kesejahteraan guru merupakan agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan, (Kompas, 30 Januari 2003).
Akhirnya, profesionalisme guru tidak hanya berpulang pada guru itu sendiri, tapi juga dukungan, penghargaan dan political will pemerintah sangat dinantikan. Tanpa usaha serius dari semua pihak, kondisi guru akan makin memprihatinkan dan profesionalisme sulit dicapai.***
Penulis, guru SMA Pasundan Majalaya.